“Dua Kali Reunifikasi” Adalah Mimpi Buruk Bersama Tiongkok & Hongkong

oleh He Qinglian

Semangat perjuangan dan pengorbanan para pemrotes Hongkong, telah meraih dukungan dan penghormatan luas dari luar Tiongkok, tapi merasa sangat tak berdaya.  Saya bisa diingat setelah gerakan Menduduki Central pada 2014 lalu di Hongkong, Beijing telah merencanakan “reunifikasi jilid 2”, setelah diperiksa, ternyata memang benar demikian.

Penguasa Nantikan Momentum Yang Tepat Untuk “Keruk tulang Buang Racun”

Sebelum aksi protes 31 Agustus, Beijing telah melontarkan sinyal kepada pihak luar. Untuk menyelesaikan masalah Hongkong, saat ini dilakukan “menghentikan kerusuhan meredam kekacauan”, setelah itu akan “keruk tulang buang racun”, kemudian akan mencapai “reunifikasi jilid 2”.

Pada 27 Agustus DuoWei News mempublikasi artikel berjudul “Hentikan Kerusuhan Redam Kekacauan Bukan Akhir Dari Kerusuhan Hongkong”, disebutkan bersamaan dengan “menghentikan kerusuhan meredam kekacauan.”

Untuk jangka panjang, perlu dilakukan “keruk tulang buang racun” secara tuntas terhadap Hongkong — yang dimaksud dengan “racun”, adalah kondisi saat ini. Tentunya yang dimaksud adalah para muda-mudi Hongkong yang berinisiatif bersikeras melawan.

Walaupun pihak pemrotes senantiasa mengumumkan protes ini “tanpa forum”, tapi pihak kepolisian Hongkong mengaku telah menyusupkan mata-mata ke dalam kelompok pengunjuk rasa untuk mencari tahu siapa saja penggerak utamanya.

Dikabarkan total mencapai ribuan orang, termasuk beberapa orang anggota Dewan Legislatif dari kubu demokrasi dan tokoh gerakan masyarakat. Sekarang yang telah ditangkap jumlahnya tidak sedikit lebih dari 1000 orang.

Pada 30 Agustus, Reuters mempublikasikan berita eksklusif: Beijing perintahkan tolak 5 tuntutan demonstran Hongkong, dengan instruksi khusus bahwa tidak boleh melakukan penyelidikan terhadap polisi yang represif berlebihan.

Pemerintah Komunis Tiongkok secara terbuka membantah berita tersebut sebagai berita palsu, tak diduga pada 2 September, Reuters kembali mengungkap rekaman suara pembicaraan Carrie Lam dengan pengusaha minggu lalu.

Carrie Lam menyatakan, jika bisa memilih, dia akan mengajukan pengunduran diri pada kesempatan pertama. Perihal mengatasi krisis Hongkong ini telah melampaui batas kemampuan dirinya. Pernyataan Carrie Lam ini telah melanggar pantangan terbesar di kancah politik komunis Tiongkok. 

Pada 1989 menjelang Pembantaian Tiananmen, Perdana Menteri Zhao Ziyang yang waktu itu menemui Sekretaris Partai Komunis Uni Soviet, Gorbachev membicarakan Deng Xiaoping adalah penguasa politik yang sebenarnya di Tiongko.

Ia sempat dituduh sebagai “pengkhianat.” Carrie bersedia secara terbuka menyampaikan maksudnya ini, bisa dibilang sebagai semacam pernyataan sikap dan berterus terang secara tidak langsung.

Beijing sedang menunggu momentum yang tepat untuk “menghentikan kerusuhan meredam kekacauan”. Pada 31 Agustus itu, seorang wartawan surat kabar “Le Monde” Prancis yang meliput di lokasi menemukan sejumlah fenomena yang sangat aneh.

Polisi Hongkong membiarkan demonstran mendekati kantor pusat pemerintahan dan Dewan Legislatif yang simbolis, lalu melemparkan gas air mata ke arah “barikade air” atau pembatas keamanan. Yang mana melindungi polisi. Bahkan, membiarkan sebagian demonstran mendekati serta melampaui “barikade air” yang dipasang polisi. Dalam hal ini, polisi dianggap dengan sengaja membiarkan demonstran bertindak berlebihan.

Wartawan itui tentu saja tidak tahu, dalam menghadapi aksi unjuk rasa Komunis Tiongkok telah mendapatkan warisan asli ala Mao Zedong.

Pada 18 Februari 1959, terhadap “Briefing Situasi Pemberontakan Bersenjata Tibet”, memo Mao Zedong berbunyi bagi Liu Shaoqi, Zhou Enlai, Chen Yi, Deng Xiaoping, Peng Dehuai dan kawan-kawan :

“Semakin rusuh Tibet akan semakin baik, bisa untuk melatih pasukan militer, juga bisa melatih basis massa, juga menjadi alasan yang kuat untuk menekan pemberontakan dan menerapkan reformasi di masa mendatang.”

Setelah 31 Agustus, propaganda KOMUNIS TIONGKOK terhadap unjuk rasa di Hongkong bisa dikatakan “didominasi gambar dan tulisan”, dipenuhi dengan konten “perusuh” Hongkong membakar dan menyerang polisi.

Tapi tidak sepatah kata pun menyebutkan tindakan kekerasan polisi menggunakan gas air mata, meriam air (water cannon) dengan cairan berwarna biru, peluru karet dan lain-lain, khusus kepada warga di TIONGKOK, telah diperlihatkan sebuah versi “kerusuhan Hongkong” yang sama sekali berbeda.

Berita-berita itu jelas mengarah ke satu tujuan, pemerintah Komunis Tiongkok akan mengambil tindakan keras, untuk mengakhiri perlawanan yang telah berlangsung selama tiga bulan ini.
Penyelesaian dari peristiwa ini tidak akan berakhir seperti tragedi Pembantaian Tiananmen, melainkan dengan metode lain, aksi polisi Hongkong pada 31 Agustus hanyalah permulaan saja.
Pendidikan Kebencian Internal Komunis Tiongkok Terhadap Hongkong

Setelah menghentikan kerusuhan meredam kekacauan, akan ada perhitungan pasca kejadian, itu yang dimaksud dengan “keruk tulang buang racun”.
Apa yang dimaksud “racun”? Di mata penguasa Tiongkok, semua yang tidak sepaham dengan rezim totaliter dan semua warga Hongkong yang secara terbuka menentangnya, termasuk dalam kategori itu.

Setelah terjadi gerakan anti ekstradisi di Hongkong, pada situs internet di Tiongkok beredar sepotong rekaman video pidato.

Video itu dari salah seorang dosen Fakultas Pengajaran dan Penelitian Strategis pada Universitas Pertahanan Nasional Tiongkok yakni Mayjend Xu Yan.

Intinya adalah: Pondasi masyarakat Hongkong adalah yang terburuk di Tiongkok, bahkan lebih buruk daripada Taiwan, komposisi warga Hongkong: 1/3-nya adalah penduduk asli yang mengenyam pendidikan Inggris-Hongkong, ⅓ lainnya, adalah pelarian dari daratan Tiongkok pada 1949 hingga 1950 ketika partai komunis Tiongkok melakukan pembersihan terhadap oposisi.
Ini yang paling buruk, yang membenci partai komunis begitu mendalam; 1/3-lainnya adalah yang melarikan diri ke luar dari Tiongkok pada saat terjadi bencana kelaparan parah selama 3 tahun pada 1958-1961.

Mobilisasi kebencian seperti itu, di luar negeri terdengar sangat konyol. Tapi dipercaya adalah pernyataan mobilisasi opini internal pasca peristiwa “Gerakan Occupy Central” yang dibuat oleh Komunis Tiongkok untuk melakuan “Reunifikasi jilid 2.

Sama seperti yang dilakukan internal daratan Tiongkok menciptakan “musuh kelas” ketika melakukan konflik antar kelas, sebagai judul utama di masa Revolusi Kebudayaan.
Pidato Xi Jinping 1 Juli 2017 di Hongkong

Selama ini ada pandangan seperti ini: Aksi protes di Hongkong jikalau tidak begitu sengit, apakah Hongkong akan bertahan dengan satu negara dua sistem?
Bagi yang pernah membaca pidato Xi Jinping dalam peringatan 20 tahun penyerahan kembali kedaulatan Hongkong pada 1 Juli 2017 lalu, akan menyadari orientasi ideologi “Reunifikasi jilid 2” yang dimaksud sudah tersistematis pada saat itu.

Alasan yang membuat Xi mempertimbangkan hal itu adalah, karena pemikiran politiknya itu memang digodok lewat politik totaliter. Ayah Xi Jinping yakni Xi Zhongxun menyaksikan sendiri arus pelarian ke Hongkong, juga lebih memahami Hongkong.

Sebaliknya Xi Jinping hampir seumur hidupnya tidak pernah hidup di provinsi Guangdong yang berdekatan dengan Hongkong. Setelah menjadi kepala negara, ia hanya dua kali pergi ke Hongkong, yang pertama adalah pada Juli 2008 dengan status sebagai wakil kepala negara, kedua kalinya adalah pada Juli 2017.

Sebelum kunjungan pertamanya ke Hongkong, perselisihan antara Tiongkok dengan Hongkong terus berlanjut hingga kini: Mulai dari perselisihan legislatif “hukum dasar” pasal ke-23, pergolakan badan pendidikan nasional, anti penumpang jalur laut dari Tiongkok, sampai konflik reformasi politik, menduduki (Occupy) Central, kerusuhan Mong Kok dan pergolakan sumpah Dewan Legislatif, termasuk survei identitas Hongkong terbaru yang dilakukan oleh Public Opinion Program yang diprakarsai University of Hongkong. Serta bermunculannya kaum lokalisme radikal dan Hongkong Merdeka. Semua itu menjelaskan semakin menjauhnya hati warga Hongkong dari pemerintah pusat Beijing, kian hari kian kuat.

Fenomena di atas, bagi yang memahami Hongkong, maka akan tahu semua itu hanyalah rasa tidak puas dan penolakan warga Hongkong yang telah terbiasa dengan kehidupan bebas dari pemerintahan totaliter.

Tapi Komunis Tiongkok yang berpegang pada pemikiran pemersatuan, terbiasa menggunakan kekuasaan mutlak menguasai masyarakat. Pasti akan mengartikannya sebagai pemberontakan terhadap negeri leluhur dan penentangan terhadap pemerintahan pusat.

Di bawah efek pemikiran totaliter seperti ini, kebijakan pengaturan Hongkong dengan “Reunifikasi jilid 2” pun perlahan terbentuk.

Umbrella Movement di tahun 2014 semakin memantapkan tekad Komunis Tiongkok untuk memperkuat pengaturan secara menyeluruh. Hanya saja waktu itu Xi Jinping disibukkan dengan sentralisasi internal partai, fokusnya terletak pada perombakan dan reformasi militer, masalah Hongkong untuk sementara terpaksa dikesampingkan.

Pada 1 Juli 2017, Xi Jinping melakukan inspeksi ke Hongkong dan menghadiri perayaan 20 tahun peralihan kedaulatan Hongkong.

Pada saat itu disampaikanlah pidato yang cukup to the point, selain mengkritik Hongkong telah “dipolitisir”, juga secara lugas menyebutkan: penerapan “satu negara dua sistem” di Hongkong mengalami sejumlah masalah dan kondisi baru.

Hongkong dalam hal melindungi kedaulatan negara, keamanan dan sistem kepentingan pengembangan masih perlu adanya perbaikian; pendidikan terhadap sejarah negara dan budaya bangsa, harus diperkuat lagi di Hongkong, kaum muda harus cinta negara.

Sedangkan, kesepahaman masyarakat dalam sejumlah masalah politik dan hukum masih sangat kurang dan lain sebagainya. Adapun, batas bawah kebijakan Beijing terhadap Hongkong dari era Deng Xiaoping yang melakukan “reunifikasi dengan mulus dan peralihan yang stabil” sepenuhnya diubah menjadi “kedaulatan negara, keamanan dan kepentingan pengembangan”.

Dalam pidatonya, Xi Jinping bahkan menggunakan kata-kata yang bersifat memperingatkan: “Ada suatu ungkapan di Hongkong, ‘setelah melewati Suzhou tidak ada lagi kapal yang dapat ditumpangi’, artinya kesempatan tidak terulang dua kali. Semua pihak harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin, energi utama harus difokuskan pada pembangunan dan pengembangan.” Makna lain dari pernyataan ini adalah jangan membuat keonaran lagi, jika mengacau lagi maka pemerintah pusat tidak akan memberikan kesempatan lagi.

“Reunifikasi jilid 2” Sebagai Tujuan Dekolonisasi

Kantor berita Xinhua telah menerbitkan seluruh naskah pidato 1 Juli itu dilengkapi dengan penjelasannya. Tapi tidak sejelas dan se-sistematis seperti editorial oleh DuoWei News pada 2 Juli tahun yang sama. Isinya yang berjudul “Harus Rampungkan Reunifikasi Hongkong jilid 2”.

Artikel itu menyebutkan, alasan penyebab “satu negara” mengalah tanpa prinsip kepada “dua sistem”, adalah “karena tidak seketika itu juga melakukan proses secara benar transformasi dekolonisasi yang dianggap perlu”. Ini mencakup tiga lapisan:

Pertama pada lapisan legislatif yang “keras”, karena tidak bisa menerapkan pasal 23. Menyebabkan penanganan keamanan nasional di Hongkong muncul kehampaan hukum, di tengah sistem nilai inti Hongkong belum bisa dimasukkan elemen anti separasi.

Kedua pada lapisan Pendidikan yang “lunak”, kurang berupaya dalam mendorong pemahaman “satu negara”, cara-caranya sangat canggung, tidak hanya efektivitasnya rendah, bahkan dampaknya adalah kontraproduktif.

Ketiga tidak hanya tidak mampu secara sistem memperbaiki model pemerintahan bersama pejabat dan pengusaha dari era kolonial dulu, sebaliknya dalam proses mengatur Hongkong baik disadari maupun tidak disadari justru memperkuat model itu. Membuat kalangan pemerintah dan pengusaha di Hongkong memonopoli,sebagian besar bonus prioritas Hongkong dari pusat dan hasil pengembangan ekonomi, sehingga dalam tingkatan tertentu membuat “warga Hongkong mengatur Hongkong” menjadi “pejabat dan pengusaha mengatur Hongkong”.

Hasilnya adalah yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Konflik masyarakat semakin sengit, sambil membawa hubungan Tiongkok-Hongkong dan pemerintah pusat menjadi kambing hitam sekaligus obyek pelampiasan.

Dari ketiga hal di atas, hanya poin ketiga agak masuk akal. Fenomena itu sebelum peralihan kedaulatan telah disindir oleh media massa Hongkong. Sindiran itu mengatakan Komunis Tiongkok yang bermisi melenyapkan kalangan kapitalis berikut kapitalisme itu, setibanya di Hongkong justru menjadi bersahabat dengan para kapitalis.
Penjabaran terkait “reunifikasi jilid 2” yang dimaksud pemerintah Tiongkok banyak dimuat di DuoWei News.

Melihat keunikan media DuoWei News ini, penulis berpendapat “reunifikasi jilid 2” sejak awal telah dipersiapkan. Hanya saja bercermin pada dampak buruk dari Pembantaian Tiananmen, dan pengalaman menangani Gerakan Occupy Central di Hongkong, yang disebut “reunifikasi jilid 2” telah menempuh cara “memasak katak dengan air hangat. Setahap demi setahap diterapkan secara berkesinambungan. RUU ekstradisi hanyalah salah satu mata rantai dari perubahan terhadap sistem hukum di Hongkong saja.

Mempertahankan Satu Negara Dua Sistem di Hongkong, Siapkan Pintu Darurat Bagi Tiongkok

Jika “reunifikasi jilid 2” seperti itu terwujud, bagi pihak Tiongkok maupun Hongkong, adalah mimpi buruk yang sangat menakutkan.

Beijing jangan melupakan, pemerintahan Tiongkok dapat memanfaatkan “reformasi keterbukaan” untuk membalikkan situasi. Yang pertama mendukungnya adalah Hongkong yang waktu itu masih berstatus koloni Inggris, simpati warga Hongkong terhadap rekan sebangsa lebih dulu berinvestasi ke Tiongkok. Telah membuat Tiongkok berhasil menapakkan langkah pertama reformasi keterbukaannya — sewaktu Uni Soviet runtuh dan terjebak dalam krisis. Kaum intelek Rusia, rata-rata berpendapat, adalah para pemodal etnis Tionghoa dari Taiwan dan Hongkonglah yang telah membantu Tiongkok mewujudkan kemakmurannya.

Berlandaskan pertimbangan kepentingan diri, mempertahankan Hongkong sebagai tempat satu negara dua sistem, berarti mempertahankan pintu darurat bagi Tiongkok.
Sebelumnya disebutkan Kepala Eksekutif Hongkong Carrie Lam menyatakan sikapnya pada pihak Kantor Dagang, sebenarnya merupakan pernyataan terbuka dalam kondisi terpaksa. Berharap pemerintah pusat yang menguasai situasi Hongkong berdiri di depan, dan berdialog secara langsung dengan warga Hongkong sebelum situasi di Hongkong berkembang ke arah yang semakin memburuk, memikirkan aspirasi warga Hongkong secara serius.

Pemahaman Beijing terhadap “warga Hongkong mengatur Hongkong”, selama ini begitu dangkal. Saat menandatangani pernyataan bersama Tiongkok-Inggris, mengira biarkan saja kuda Hongkong ini terus berlari, dan tarian ini terus dilanjutkan.

Selama tidak mengubah kehidupan warga Hongkong saja maka masalah sudah selesai; pada 2001 setelah Tiongkok bergabung dalam WTO, Komunis Tiongkok mengira dengan mengembangkan pariwisata Hongkong, membuat warga Hongkong memiliki sumber pendapatan ekonomi baru sudah cukup.

Yang tak terpikirkan oleh Beijing adalah manusia itu hidup untuk kebebasan. Warga Tiongkok yang telah melalui sistem politik otoriter jangka panjang sehingga menjadi begitu menyedihkan seperti sekarang ini.

Tapi warga Hongkong yang dulunya menikmati kebebasan, tidak bisa menerima tekanan dan kekangan politik otoriter ala Komunis Tiongkok seperti ini.

Sekarang sinyal yang dilontarkan warga Hongkong sangat jelas: Mereka berharap mempertahankan Hongkong dengan “satu negara dua sistem”, dengan menghormati kedaulatan negara, membiarkan Hongkong tetap memiliki model pengaturan Hongkong seperti semula.

Justru karena warga Hongkong masih memiliki sedikit harapan terhadap pemerintah pusat, ujung tombak itu diarahkan pada Carrie Lam yang dijadikan boneka Komunis Tiongkok.

Di saat Wang Qishan menginspeksi provinsi Guangdong pada 29-31 Agustus lalu, kalangan luar umumnya berpendapat ini adalah Xi Jinping yang berharap mendengar pendapat selain dari Kantor Urusan Hongkong dan Makau dan Kantor Penghubung Hongkong.

Karena warga Hongkong masih memiliki secercah harapan terhadap Beijing, berharap Xi Jinping dengan bijaksana menyelesaikan urusan di Hongkong. Jangan gunakan “reunifikasi jilid 2” yang dapat menghancurkan eksistensi Mutiara Timur itu. (SUD/whs/asr)

*Kolumnis soal Tiongkok