Hari Pers Nasional 2021, Catatan LBH Jakarta : Kriminalisasi Jurnalis, Pembatasan Liputan, Serangan Buzzer, Keamanan Jurnalis di Tengah Pandemi Hingga Konglomerasi Media

EtIndonesia. Peringatan Hari Pers (HPN) 2021 diawali dengan memburuknya kondisi Kemerdekaan Pers, Reporters Without Borders (RSF) 2020 merilis Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia berada di Peringkat 119 dibawah Malaysia peringkat 101, dan Timor Leste peringkat 78.

Kemerdekaan Pers diatur, dijamin dan dilindungi dalam undang-undang dasar dan undang-undang  Ada dua undang-undang yang mengatur kebebasan pers, Pasal 28F UUD 1945, Kovenan Internasional Sipil dan Politik (“ICCPR”), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”), dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (“UU Penyiaran”).

Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat 1 dan 2 dalam UU Pers “bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”.

Dalam Momen HPN 2021, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat beberapa hal yang berhubungan dengan Pembungkaman Pers, sebagai berikut:

Pertama, Kekerasan dan Kriminalisasi Jurnalis;

Kekerasan Negara terhadap Jurnalis melalui aparat Polisi terjadi pada saat pengamanan demonstrasi juga mengenai Jurnalis, khususnya pada saat aksi penolakan terhadap Omnibus Law meluas ke seluruh Indonesia, menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pada 2020 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang masih tinggi, mulai dari perampasan alat hingga pemidanaan. Dalam periode satu tahun ini, setidaknya ada 53 kasus kekerasan. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan kasus kekerasan pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 42 kasus. Jenis kekerasan terbanyak kekerasan fisik (18 kasus), perusakan alat atau data hasil liputan (14), ancaman kekerasan atau teror (8).

Dari kasus-kasus diatas tersebut tidak ada Anggota Kepolisian yang terlibat dalam kekerasan tidak pernah diadili secara etik dan diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya.

Kedua, Serangan Buzzer dan Peretasan Situs Berita Media;

Pada 2019 situs berita media Tempo yang memberitakan kritik warga mengenai Revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan serangan Buzzer dan robot siber, berdasarkan Hasil penelitian Drone Emprit mencatat tagar #TempoKacungKPK dicuitkan sebanyak 5,197 kali, menurut Ismail Fahmi (LP3ES), “serangan kepada Tempo dimulai sejak keluarnya sampul Majalah Tempo edisi 16 September 2019”.

Kemudian pada 2020 karena pemberitaan Tempo yang mengkritik Pemerintah, laman situs berita Tempo.co diretas oleh orang tidak dikenal, LBH Jakarta menilai kejadian itu setidaknya adalah sebuah upaya untuk membungkam kemerdekaan pers karena pemberitaan yang mengkritik Pemerintah.

Ketiga, Pembatasan Liputan Pers;


Pada 2019 pemerintah melakukan pemblokiran dan pelambatan (“throttling”) akses internet di Papua, kebijakan tersebut adalah pembatasan yang tidak sah menurut hukum dan HAM yang kemudian berdampak pada akses jurnalis terhadap pemberitaan, yang kemudian kebijakan tersebut dinyatakan sebagai Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah berdasarkan Putusan PTUN Jakarta.

Kemudian pada 2020 KAPOLRI menerbitkan Maklumat Kapolri Nomor : 2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran virus Covid-19 (Covid-19), yang pada intinya mengatur tentang pembatasan kebebasan berkumpul warga dan tentunya menyulitakan kerja Liputan Jurnalis, kemudian Maklumat Nomor Mak/1/I/2020 itu terbit pada 1 Januari 2021 Tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI yang pada intinya berisi tentang larangan bagi setiap warga negara untuk “tidak mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun melalui media sosial”.

LBH Jakarta menilai kebijakan diatas merupakan bentuk pembungkaman pers melalui pembatasan selama Pandemi COVID-19 dilakukan oleh Pemerintah untuk kepentingan menutupi kegagalannya dalam mengendalikan Pademi dan dan Pemenuhan Hak Warga yang dikorupsi serta upaya menutupi pelanggaran HAM yang sedang terjadi. Kebijakan ini menabrak jaminan kemerdekaan pers dan perlindungan kemerdekaan pers sebagai hak asasi manusia dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 DAN Pasal 4 Ayat (1) yang menyatakan “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”

Keempat, Keamanan dan Keselamatan Jurnalis di tengah Pandemi;


Laporan World Press Freedom Index menyatakan, pandemi covid-19 memperburuk krisis yang dialami wartawan di seluruh dunia, hambatan terkait kerja jurnalistik ataupun varian lainnya dimulai dari kurang diperhatikannya aspek kesehatan, ekonomi, pelanggaran hak pekerja sampai pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”).

Beban meliput Awak Pers dengan resiko kesehatan yang tidak sebanding, dikarenakan penunjang kesehatan mulai dari pemenuhan Alat Pelindung Diri (APD), fasilitas testing (PCR atau antigen) deteksi Virus Korona setelah penugasan di kerumunan hingga, penyiapan SOP (Standar Operasional Prosedur) pencegahan ketika pekerja terpapar Covid-19.  Menurut AJI dari 792 responden pekerja media, sebanyak 63,2 persen diantaranya mengaku tidak dibekali alat pelindung diri (APD) dari perusahaan medianya. Selama pandemi Covid-19 terjadi beberapa pemutusan hubungan kerja Awak Pers pada beberapa perusahaan media.

Menurut LBH Pers dan AJI Jakarta, pada 2020 setidaknya ada 61 pengaduan dengan kasus yang beragam, mulai dari PHK sepihak (26 laporan), dirumahkan (21), pemotongan atau penundaan upah (11), lainnya (3) bahkan sampai Penutupan Media.

Kelima, Konglomerasi Media

Konglomerasi media menjadi ancaman bagi terjaminnya ekosistem media yang independen dan demokratis, kualitas penyajian berita atau liputan yang menjadi konsumsi umum, harus menjamin hak publik dalam mendapatkan informasi yang berimbang dan akurat.

Peranan media sebagai pembawa angin demokratisasi yang diperjuangkan melalui Reformasi, saat ini cenderung menjadi medium kekuasaan aktor politik. Dampak berbahaya dari praktik konglomerasi ini adalah memberikan kontribusi negatif terhadap demokrasi. Pada situs berita Tempo beberapa pengusaha media terlibat dalam memberikan dukungannya kepada Capres & Cawapres dalam Pilpres 2019, yaitu Surya Paloh (Media Group), Hary Tanoesoedibjo (MNC Group), dan Erick Thohir (Mahaka Group).

Mengambil contoh pemberitaan tentang isu omnibus law, menurut riset yang dilakukan Remotivi, dari lima media daring yang diamati omnibus law cenderung diberitakan secara positif (52%), hanya Kompas.com (22,9%) yang sedikit lebih banyak memberikan ruang bagi pernyataan-pernyataan yang menolak omnibus law, sementara keempat media lainnya memberikan ruang tidak lebih dari 17,5%.

Hal tersebut menunjukkan adanya ketidak berimbangan dalam menangkap sentimen-sentimen negatif atau suara kontra masyarakat terkait kebijakan pemerintah. Dengan begitu, kemampuan media dalam menonjolkan beberapa isu krusial melalui pemberitaan yang mendalam dan terfokus akan menumpul atau terkungkung oleh kuasa pemerintah, karena pengusaha media memberikan dukungannya kepada pemenang pemilu atau terjunnya pengusaha dalam perpolitikan. Padahal media memiliki kemampuan (agenda setting) yang mengasumsikan bahwa konsentrasi pada beberapa isu akan berpotensi menggiring publik untuk menganggap isu tersebut lebih penting dari isu lainnya. (McCombs dan Shaw, 1972; McCombs, 1997).

Berdasarkan catatan tersebut di atas, untuk menghentikan Pembungkaman Kemerdekaan Pers dan mengutamakan keselamatan Jurnalis, LBH Jakarta mendesak:

Pemerintah:

  1. Presiden RI memerintahkan KAPOLRI untuk menghentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis yang sedang melakukan Liputan;
  2. KAPOLRI memberikan pengadilan kepada Anggota Kepolisian yang melakukan kekerasan terhadap Jurnalis, secara etik dan sampai pertanggungjawaban Pidana;
  3. KAPOLRI mencabut Surat Telegram Maklumat Kapolri Nomor : 2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran virus Covid-19 (Covid-19) dan Maklumat Nomor Mak/1/I/2020 itu terbit pada 1 Januari 2021 Tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI;
  4. Dewan Pers secara aktif mendorong penegak hukum untuk menegakkan hukum perlindungan jurnalis dengan mengadili pelaku pelanggaran dan mencegah pelanggaran terulang kembali.
  5. Menghindari pelibatan pengusaha media dalam jabatan pemerintahan untuk mencegah adanya konflik kepentingan (conflict of interest).

Perusahaan Media:

  1. Memastikan Keselamatan dan keamanan Jurnalis pada saat melakukan kerja Jurnalistik (Alat Pelindung Diri (APD), fasilitas testing (PCR atau antigen) deteksi Virus Korona setelah penugasan di kerumunan hingga, penyiapan SOP (Standar Operasional Prosedur)
  2. Perusahaan Media tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) terhadap Jurnalis di tengah Pandemi COVID-19.
  3. Perusahaan Media harus memberikan dan menjamin independensi kepada para jurnalisnya untuk menyajikan liputan kepada masyarakat umum yang berimbang dan akurat.

(LBH JKT)

Keterangan Foto : Wartawan dan aktivis memprakarsai sebuah demonstrasi yang menyerukan untuk mempertahankan kebebasan pers pada 19 Januari 2018, di pinggiran kota Quezon City di Metro Manila, Filipina. (Jes Aznar / Getty Images)