Eva Fu
Seorang anggota parlemen Belanda pada Rabu (27/10/2021) mendesak Parlemen Eropa memprioritaskan hak asasi manusia atas perdagangan dan menghadapi kekejaman pengambilan organ secara paksa oleh rezim Komunis Tiongkok
Terakhir kali Uni Eropa bertindak atas masalah ini pada Desember 2013, ketika badan legislatifnya mengadopsi resolusi yang mengutuk penyalahgunaan transplantasi organ. Namun, sejak itu, “semuanya diam,” kata Peter van Dalen, seorang politisi Belanda yang bertugas di Subkomite Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa dan Ketua bersama The European Parliament Intergroup on Freedom of Religion or Belief and Religious Tolerance (Intergroup on FoRB & RT).
Lambannya tindakan nyata tersebut tak bisa diterima, pasalnya tingkat kekejaman yang dilakukan oleh Komunis tiongkok semakin parah. Peter van Dalen kepada hadirin pada konferensi pengambilan organ di Press Club Brussels Europe mengatakan bahwa dia sedang dalam “perjuangan berat” untuk memasukkan isu ini di Eropa.
Pada Juni 2019, Tribunal Tiongkok yang berbasis di London menyimpulkan bahwa rezim Komunis Tiongkok telah membunuh tahanan hati nurani untuk diambil organ mereka. Sedangkan praktik yang disetujui negara terjadi “dalam skala yang signifikan” sepanjang waktu.
Van Dalen mengatakan, tentang isu ini di Parlemen Eropa mungkin akan dilakukan dengan pendapat dalam beberapa bulan mendatang.
“Kami tidak ingin menyerang Tiongkok dalam masalah sensitif seperti pengambilan organ, tetapi saya benar-benar berpikir kami harus melakukannya, karena pengambilan organ benar-benar merupakan serangan serius terhadap hak asasi manusia,” katanya.
Menurut van Dalen, Faktor utama yang berkontribusi terhadap bungkamnya Eropa adalah hubungan ekonomi Eropa yang erat dengan Tiongkok.
“Terlalu banyak berbicara tentang perdagangan, tentang uang, dan tidak cukup tentang hak asasi manusia dan hak-hak minoritas,” katanya.
Pada Mei lalu, Parlemen Eropa membekukan kesepakatan investasi dengan Tiongkok setelah sanksi pembalasan Beijing terhadap politisi Eropa atas penindasan Xinjiang.
Van Dalen percaya bahwa perjanjian investasi harus ditunda selama rezim tidak menghentikan pelanggaran hak asasi manusianya.
“Kita harus menggunakan ini sebagai cambuk untuk menjelaskan kepada Tiongkok bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu penting,” katanya.